sejarah pondok pesantren Al- Munawwar Langgenharjo

penulis: Iyanuar




PONDOK PESANTREN AL- MUNAWWAR
SEJARAH PONDOK PESANTREN AL- MUNAWWAR LANGGENHARJO JUWANA PATI

MENGENANG..............
KH. SHOLIHUL MUNAWWAR (1885-1952 M) DAN K. ANAS SHOLIH
Riwayat hidup                                                                        
Langgenharjo, adalah sebuah desa yang ada di wilayah kecamatan juwana kabupaten pati jawa tengah yang berbatasan dengan timur desa bakaran kulon, utara desa agung mulyo, barat desa bangsal rejo, dan selatan desa margomulyo. Di desa inilah terlahir seorang bayi yang bernama sholihul munawwar dari pasangan suami istri kh. Musthofa dan nyai Nasihah yang kalau ditarik garis keturunannya termasuk keturunan dari keluarga Mbah Ahmad Mutamakkin Kajen, yaitu dari urutan keturunan Mbah Godek, salah seorang putri keturunan Mbah Ahmad Mutamakkin. Godek adalah nama panggilan sedangkan nama aslinya adalah alfiyah.
Sebagaimana layaknya anak-anak sebayanya Sholihul Munawwar kecil suka bermain, bercanda ria dengan teman- temannya dan lain sebagainya. Belajar agama dididik sendiri oleh bapak beliau. Setelah beranjak dewasa baru beliau pergi menuntut ilmu atau mondok , mulanya mondok di desa Bandung Purwosari Purwodadi, beliau mondok di sini tidak lama, hanya kurang lebih 1 tahun, kemudian pindah mondok di Rembang, tepatnya di desa kasingan sebelah timur pendopo kabupaten Rembang, sebuah pondok yang cukup terkenal pada masa itu(1901-1943M) yang di asuh oleh dua kyai, yaitu KH. Mas’ud dan KH. Kholil Harun yang jumlah santrinya pada saat itu mencapai ribuan santri yang berasal dari hampir seluruh wilayah Indonesia, bahkan ada yang berasal dari luar negeri seperti Malaysia. Di pondok itulah Sholihul Munawwar kecil digembleng oleh dua kyai yang sangat alim tersebut. Sosok Sholihul Munawwar kecil tergolong anak yang cerdas, pandai, dan disegani oleh santri- santri yang lain, beliau suka tirakat dan senang mempelajari ilmu hikmah, bahkan sempat badannya ditanam ditanah sampai 40 hari dengan tidak makan dan minum, saat menjelang 40 hari terakhir dari tirakat beliau, menurut cerita terdengar suara gemuruh disekitar pondok bagaikan lindu, dan yang pertama kali beliau makan adalah uap nasi kemudian disuapi oleh ibu Abdurrauf yaitu istri dari modin kasingan saat itu.
Setelah sekian lama mondok, kemudian beliau diambil menantu oleh KH. Mas’ud untuk dinikahkan dengan putri sulungnya yang bernama Syafi’ah yang kemudian diganti namanya oleh K. Sholih dengan nama Sholihah.  Tak lama kemudian beliau pergi ke Mekkah bermukim disana untuk menuntut ilmu, kurang lebih selama 3 tahun, kemudian pulang ke tanah air, selang satu tahun kemudian beliau kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari tanah suci beliau mendirikan madrasah di dukuh kincir tengah dengan nama Matholi’ul Falah sekitar tahun 1927 M, sewaktu beliau meresmikan madrasah tersebut beliau mengundang simbah KH. Mahfudz yaitu abahnya KH. Sahal Mahfudz Kajen. Dari pasangan KH. Sholihul Munawwar dan Nyai Sholihah ini terlahir 9 putra-putri keturunan beliau yaitu: 1. Abdullah 2. Nur Faqih 3. .....(kurang tahu namanya) 4. Shodiroh 5. Makhmudah 6. Mudhofir 7. Anas 8. Shofiyah 9. Khamidah.
Sepeninggal Nyai Sholihah, tak lama kemudian beliau menikah lagi dengan Nyai Salamah, putri KH. Sholih Bulumanis Kidul. Dari pernikahan beliau yang kedua ini beliau dikaruniai seorang putra yang bernama Ahmad Salim.
SEJARAH PONDOK
Dengan menempati musholla keluarga, waktu itu hanya beberapa santri, kemudian santrinyapun bertambah sehingga tempatnyapun tidak mencukupi, maka musholla yang berbentuk panggung dengan atap welit(gladak) itu pun diperlebar kanan kirinya untuk dijadikan kamar santri, pondok pun mulai dikenal oleh masyarakat luas, santri berdatangan bahkan ada yang dari luar wilayah kabupaten Pati seperti, kudus, jepara, rembang, banyuwangi, jember, sampai cirebon. Dan dibangunlah gota’an kamar- kamar yang memanjang di depan musholla.  Beliau punya kebiasaan sering silaturahmi ke keluarga- keluarga, para kyai, dan juga para santri- santrinya. Dalam silaturahmi tersebut kadang bisa sampai tujuh hari, bahkan suatu ketika beliau pernah pergi ke Banyuwangi dan Jember selama 40 hari. Setelah kembali kerumah, beliau bersama masyarakat kira-kira tahun  1927 M, mendirikan Masjid Jami’ Al Munawwar Langgenharjo  ( waktu itu masih Sangat -sederhana ).
MASA PENDUDUKAN BELANDA DAN JEPANG
Pada Masa pendudukan Belanda Dan Jepang, beliau tidak pernah secara langsung memanggul senjata, namun sering di datangi para pejuang meminta asma’. Dirumah beliau juga pernah ditempati untuk bersembunyi para kyai yang dicari/ diburu belanda, diantaranya adalah simbah KH. Salam Kajen, waktu itu ditempatkan dikebun ketela sebelah utara pondok, begitu juga pada masa pendudukan jepang banyak orang yang menyembunyikan garam dan padi dilingkungan ndalem dan pondok. Memang pada masa itu penduduk yang punya padi dan garam dirampas oleh tentara jepang. Jadi, pada masa pendudukan Belanda dan Jepang, rumah beliau dan pondok aman.
KEGIATAN KYAI
Disamping mengajar santri-santrinya beliau dengan rajin dan gigih berjuang diluar pondok, ceramah pengajian di daerah- daerah lain. Tantangan, rintangan, dan gangguan pun banyak sekali, maklum waktu itu masyarakat hampir seluruh kecamatan juwana masih tertinggal/ awam faham komunis pada saat itu masih kuat/ dominan, sehingga mereka sangat tidak senang melihat kegiatan kyai dan santri- santrinya. Kendaraan beliau waktu itu adalah gerobak jaran(kuda) ala tubanan, tinggi duduknya dan bersila simpuh. Beliau juga sering diganggu dalam perjalanan pengajian, dan ada didaerah tertentu yang dimana masyarakat melemparkan pohon- pohon pisang dijalanan yang akan beliau lewati, anjing- anjingpun dilepaskan untuk mengganggu beliau, dan beliaupun sering akan akan dibunuh oleh orang komunis, waktu itu PKI tahun 1948 M, dari rumah siap mengasah golok, namun anehnya begitu sampai bertemu beliau mereka tidak bisa apa-apa dan anehnya malah mereka meminta di do’akan “ yi dongakno nggih yi, nek PKI menang mangke jenengan diparingi bengkok”( yi do’akan ya yi, kalau PKI menang nanti panjenengan diberi sawah). Beberapa hari sesudahnya datang lagi dengan maksud yang sama, namun tidak berhasil, begitu juga dalam memberantas perjudian, beliau cukup datang memakai caping, begitu orang- orang tersebut melihat wajah beliau, dengan gerakan cepat mereka bubar semua(lari menjauhi beliau).
Menjelang meletusnya PKI 1948 M, banyak para santri yang berdatangan dari daerah untuk meminta asma’, beliau untuk menghadapi PKI pada saat itu berbeda dengan cara yang dipakai simbah KH. Imam Sarang(waktu itu dalam menghadapi PKI 1965, menggunakan rotan), namun beliau waktu itu sangat sederhana, memakai janur kuning.
Pada masa puncaknya, jumlah santri yang mondok mencapai ratusan. Kemudian kira-kira pada tahun 1952 beliau wafat(waktu itu beliau berumur 67 tahun). Pada saat setelah beliau wafat, putra- putri beliau banyak yang meninggal pada usia muda. Putra- putri beliau yang masih hidup pada waktu itu tinggal tiga, yaitu
1.      Shodiroh Sholikh berumur 17 tahun
2.      Anas Sholikh berumur 6 tahun
3.      Salim Sholikh berumur 2 tahun
Setelah beliau wafat, keadaan pondok sangat menyedihkan, para santri satu persatu pulang atau boyong. Bangunan pondok ada yang sebagian diambil untuk bangunan musholla dan madrasah. Kemudian perjuangan beliau di teruskan oleh para santri- santrinya, antara lain:
1.      Kyai Masykur
2.      Kyai Fatoni
3.      Kyai Zaini
4.      Kyai Syafi’i
5.      Kyai Tasyrifin
6.      Kyai Marsum
7.      Dan lain- lain.
Setelah beliau wafat(KH. Sholihul Munawwar), 21 tahun kemudian generasi penerus Kyai Sholih yaitu Kyai Anas Sholih setelah sekian lama menuntut ilmu(Mondok) di pondok KH. Muhammadun, KH. Abdullah Salam Kajen, KH. Muhammad Shiddiq(sendang senori tuban), dan terakhir di KH. Bisri Musthofa(( Rembang). Tepatnya pada usia 28 tahun Kyai Anas Sholih pulang untuk memenuhi harapan masyarakat, khususnya masyarakat Langgenharjo, yaitu kembali mengasuh pondok. Pondok pun mulai bergairah, karena figur yang selama ini ditunggu- tunggu telah kembali. Namun Allah SWT menghendaki lain, tidak lama kemudian pada usia yang tergolong masih muda yaitu 43 tahun Kyai Anas wafat, telah dipanggi oleh Allah, dan meninggalkan 3 anak, yaitu:
1.      Qurrota ‘aini Nisa’
2.      Ahmad Hamid Anas
3.      Sholihul Muayyad Anas
Demikianlah tahun berganti tahun, zamanpun berkembang, pondok pun berjalan dengan apa adanya. Dan saat ini diasuh oleh Ustadz- Ustadz muda. Kami harapkan do’a dan restu semoga pondok Al- Munawwar peninggalan KH. Sholihul Munawwar tetap berjalan dan bermanfaat sampai akhir zaman. Aamiin.

Komentar

Posting Komentar